بسم الله الرحمن الرحيم

Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

. Terima kasih bagi pengunjung yang telah mampir dalam blog sederhana ini. Blog ini dikhususkan untuk masalah-masalah kewirausahaan, yang isinya berupa info kewirausahaan dan peluang/lowongan usaha syar'i a, yang diambil dari berbagai sumber. Admin blog mengharapkan saran dan masukan dari pengunjung agar blog ini bisa lebih baik lagi dalam menginformasikan tentang usaha-usaha syar'i. Ingatlah: Bahwa rizki itu diperoleh dengan usaha,iktiar dan tawakal. 

Jazakumullah khairon katsiron.


Sabtu, 29 Januari 2011

Syukur Nikmat, Sebab Dibukanya Pintu-Pintu Barakah

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menceritakan (artinya):
“Ada tiga orang dari Bani Israil menderita penyakit belang, botak, dan buta. Allah hendak menguji mereka, maka Allah pun utus kepada mereka Malaikat.
Malaikat itu datang kepada si belang dan bertanya: Apakah yang paling kamu dambakan? Si belang menjawab: Saya mendambakan paras yang tampan dan kulit yang bagus serta hilang penyakit yang menjadikan orang-orang jijik kepadaku. Malaikat itu pun mengusap si belang, maka hilanglah penyakit yang menjijikkannya itu, bahkan ia diberi paras yang tampan. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si belang menjawab: Unta. Kemudian ia diberi unta yang bunting sepuluh bulan. Dan malaikat tadi berkata: Semoga Allah memberi barakah atas apa yang kamu dapatkan ini.
Kemudian Malaikat itu datang kepada si botak dan bertanya: Apakah yang paling kamu dambakan? Si botak menjawab: Saya mendambakan rambut yang bagus dan hilangnya penyakit yang menjadikan orang-orang jijik kepadaku ini. Malaikat itu pun mengusap si botak, maka hilanglah penyakitnya itu, serta diberilah ia rambut yang bagus. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si botak menjawab: Sapi. Kemudian ia diberi sapi yang bunting. Dan malaikat tadi berkata: Semoga Allah memberi barakah atas apa yang kamu dapatkan ini.
Kemudian Malaikat itu datang kepada si buta dan bertanya: Apakah yang paling kamu dambakan? Si buta menjawab: Saya mendambakan agar Allah mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat. Malaikat itu pun mengusap si buta, dan Allah mengembalikan penglihatannya. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si buta menjawab: Kambing. Kemudian ia diberi kambing yang bunting.
Selang beberapa waktu kemudian, unta, sapi, dan kambing tersebut berkembang biak yang akhirnya si belang tadi memiliki unta yang memenuhi suatu lembah, demikian juga dengan si botak dan si buta, masing-masing memiliki sapi dan kambing yang memenuhi suatu lembah.
Kemudian Malaikat tadi datang kepada si belang dengan menyerupai orang yang berpenyakit belang seperti keadaan si belang waktu itu, dan berkata: Saya adalah orang miskin yang kehabisan bekal di tengah perjalanan. Sampai hari ini tidak ada yang mau memberi pertolongan kecuali Allah kemudian engkau. Saya meminta kepadamu -dengan menyebut Dzat Yang telah memberi engkau paras yang tampan dan kulit yang bagus serta harta kekayaan- seekor unta untuk bekal dalam perjalanan saya. Si belang berkata: Hak-hak yang harus saya berikan masih banyak.
Malaikat itu berkata: Kalau tidak salah saya sudah mengenalimu. Bukankah kamu dahulu orang yang berpenyakit belang sehingga orang lain merasa jijik kepadamu? Bukankah kamu dahulu orang yang miskin kemudian Allah memberi kekayaan kepadamu? Si belang berkata: Harta kekayaanku ini adalah warisan dari nenek moyangku. Malaikat itu berkata: Jika kamu berdusta, semoga Allah mengembalikanmu seperti keadaan semula.
Kemudian Malaikat itu datang kepada si botak seperti keadaan si botak waktu itu. Dan berkata kepadanya seperti apa yang dikatakan kepada si belang. Si botak juga menjawab seperti jawaban si belang tadi. Kemudian Malaikat tadi berkata: Jika kamu berdusta, semoga Allah ? mengembalikanmu seperti keadaan semula.
Kemudian Malaikat tadi mendatangi si buta dengan menyerupai orang buta seperti keadaan si buta waktu itu dan berkata: Saya adalah orang miskin yang kehabisan bekal di tengah perjalanan. Sampai hari ini tidak ada yang mau memberi pertolongan kecuali Allah ? kemudian engkau. Saya meminta kepadamu -dengan menyebut Dzat Yang telah mengembalikan penglihatanmu- seekor kambing untuk bekal dalam perjalanan saya. Si buta berkata: Saya dahulu adalah orang yang buta kemudian Allah mengembalikan penglihatan saya. Maka ambillah apa yang kamu inginkan dan tinggalkanlah apa yang tidak kamu senangi. Demi Allah, sekarang saya tidak akan memberatkan sesuatu kepadamu yang kamu ambil karena Allah Yang Maha Mulia. Malaikat itu berkata: Peliharalah harta kekayaanmu, sebenarnya kamu itu diuji dan Allah telah ridha kepadamu dan murka kepada kedua temanmu (si belang dan si botak).” (HR. Al Bukhari dan Muslim, hadits ini juga disebutkan oleh Al Imam An Nawawi dalam Riyadhush Shalihin hadits no. 65)
Di dalam sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang mulia tersebut banyak terkandung faedah dan pelajaran beharga bagi kaum muslimin. Tidaklah Rasulullah menceritakan kisah kejadian umat terdahulu melainkan untuk menjadi pelajaran bagi umat yang datang setelahnya.
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Yusuf: 111)

Tanda Kebesaran Allah subhanahu wata’ala
Allah subhanahu eata’la adalah Dzat Yang Maha Mampu untuk berbuat apa saja sesuai dengan kehendak-Nya. Disebutkan dalam hadits ini bahwa Allah subhanahu wata’ala mampu untuk menyembuhkan penyakit yang diderita oleh ketiga orang tadi dan memberinya kekayaan serta Allah subhanahu wata’ala pun mampu mencabutnya kembali seperti dua orang tadi yang tidak mau bersyukur.
Segala apa yang ada di langit dan di bumi ini merupakan milik Allah subhanahu wata’ala Seseorang yang memiliki harta yang melimpah, tidaklah kepemilikan itu ada padanya kecuali hanya kepemilikan yang sifatnya nisbi, kepemilikan yang mutlak hanya di tangan Allah subhanahu wata’ala. Sewaktu-waktu Allah subhanahu wata’ala berkehendak untuk mengambilnya, pasti Dia akan lakukan.
Manusia ini adalah makhluk yang sangat lemah, Allah subhanahu wata’ala mampu untuk membalik keadaan seseorang yang semula kaya menjadi miskin, yang tadinya sehat dan kuat menjadi sakit dan lemah tak berdaya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Katakanlah: Ya Allah Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Ali ‘Imran: 36)

Syukur Nikmat, Sebab Dibukanya Pintu Barakah
Seluruh nikmat yang kita rasakan ini datangnya dari Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah lah (datangnya).” (An Nahl: 53)
Oleh karena itulah, kita diwajibkan untuk bersyukur kepada-Nya sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja beribadah.” (An Nahl: 114)
Wujud syukur kepada Allah subhanahu wata’ala sebagaimana diterangkan oleh para ulama adalah dengan meyakini bahwa nikmat tersebut datangnya dari Allah subhanahu wata’ala yang kemudian dia memuji-Nya, menyebut-nyebut nikmat tersebut, serta memanfaatkan nikmat tersebut untuk hal-hal yang dicintai dan diridhai-Nya.
Dalam hadits tersebut kita melihat bagaimana si buta ketika dia bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala. Dia menegaskan bahwa kenikmatan berupa disembuhkannya dia dari kebutaan dan diberinya harta kekayaan itu datangnya dari Allah subhanahu wata’ala. Kemudian dia menginfakkan hartanya tersebut untuk membantu saudaranya yang membutuhkan. Maka Allah subhanahu wata’ala pun berikan barakah kepadanya dengan ditetapkannya harta tersebut kepadanya dan dia pun mendapatkan ridha Allah subhanahu wata’ala.
Dari sini kita bisa mengambil faedah bahwasanya syukur nikmat merupakan sebab ditetapkan bahkan ditambahkannya kenikmatan tersebut. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Jika kalian bersyukur, pasti Aku (Allah) akan tambah (kenikmatan) untuk kalian, dan jika kalian ingkar, sesunggahnya adzab-Ku sangatlah pedih.” (Ibrahim: 7)

Syukur Nikmat, Benteng dari Adzab Allah subhanahu wata’ala
Ini merupakan janji Allah subhanahu wata’ala sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Mengapa Allah akan mengadzabmu sementara kamu bersyukur dan beriman?” (An Nisa’: 147)

Mengingkari Nikmat, Sebab Mendapatkan Murka Allah subhanahu wata’ala
Berbeda dengan si buta, si belang dan si botak justru mengingkari nikmat yang Allah subhanahu wata’ala berikan kepada mereka itu dengan menyatakan: Harta kekayaanku ini adalah warisan dari nenek moyangku. Mereka mengingkari bahwa harta yang mereka miliki itu merupakan pemberian dari Allah subhanahu wata’ala. Lebih dari itu mereka enggan untuk menginfakkan hartanya untuk membantu saudaranya yang membutuhkan.
Maka mereka pun mendapatkan do’a kejelekan dari Malaikat dan mendapatkan murka dari Allah subhanahu wata’ala.
Demikianlah, barangsiapa yang tidak mau bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala dan menyombongkan diri bahwa harta yang dimilikinya itu merupakan hasil usahanya sendiri dan bukan pemberian Allah subhanahu wata’ala, maka Allah subhanahu wata’ala mengancamnya dengan adzab yang pedih.
Para pembaca, tidakkah kita ingat akan perkataan Qarun yang diabadikan di dalam Al Qur’an (artinya):
“Sesunguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (Al Qashash: 78)
Apa yang terjadi kemudian? Allah subhanahu wata’ala tenggelamkan dia beserta hartanya ke perut bumi. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Maka Kami membenamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi.” (Al Qashash: 81)

Anjuran Bershadaqah
Hadits tersebut juga menunjukkan kepada kita tentang anjuran untuk bershadaqah. Tidaklah harta itu berkurang karena shadaqah, dan tidaklah orang kaya itu menjadi miskin karena dia rajin bershadaqah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

“Tidaklah shadaqah itu mengurangi harta.” (HR. Muslim)
Justru dengan bershadaqah, harta seseorang akan semakin bertambah, barakahnya maupun jumlah harta itu sendiri. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan apa saja yang kamu infakkan, maka Dia (Allah) akan menggantinya dan Dialah sebaik-baik pemberi rizki.” (Saba’: 39)
Dalam sebuah hadits Qudsi, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قَالَ اللهُ تَعَالَى : أَنْفِقْ يَا ابْنَ آدَمَ يُنْفَقْ عَلَيْكَ

“Allah Ta’ala berfirman: Berinfaklah wahai anak Adam (manusia), pasti kamu akan diberi gantinya.” (HR. Al Bukhari, Muslim)
Orang-orang yang rajin bershadaqah dan jauh dari sifat kikir itulah yang akan mendapatkan kemenangan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan barangsiapa yang terbebas dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (Al Hasyr: 9)
Namun yang perlu diingat adalah bahwa keutamaan seperti ini tidaklah didapat kecuali oleh orang-orang yang ikhlas dalam shadaqahnya dan tidak mengungkit-ungkit shadaqah yang sudah diberikannya tersebut karena hal itu dapat menghapus pahala dan keutamaan bershadaqah. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) shadaqahmu dengan mengungkit-ungkitnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (Al Baqarah: 264)

Peringatan dari Perbuatan Kikir
Sifat kikir yang ditunjukkan oleh si belang dan si botak tersebut justru berakibat buruk bagi diri mereka sendiri. Allah subhanahu wata’ala murka kepada mereka. Orang-orang seperti inilah yang Allah subhanahu wata’ala nyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. (Yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh orang untuk berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang diberikan kepada mereka.” (An Nisa’: 36-37)
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya dijalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka dengan adzab yang pedih.” (At Taubah: 34)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَاتَّقُوا الشُّحَّ, فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

“Dan hati-hatilah kalian dari kikir, karena kekikiran itu telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Muslim)
Para pembaca, dari kisah tersebut kita bisa melihat langsung, apa yang didapat oleh orang yang dermawan, dan apa pula yang dirasakan oleh orang yang kikir. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيْهِ إِلاَّّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ, فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا : اللهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا, وَيَقُولُ اْلآخَرُ : اللهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

“Tidaklah seorang hamba berada di pagi hari kecuali dua Malaikat turun kepadanya, yang salah satunya berkata: Ya Allah, berilah orang yang berinfak gantinya. Dan yang lain berkata: Ya Allah, berilah orang yang kikir kerusakan.” (HR. Al Bukhari, Muslim)
Demikianlah beberapa faedah yang terkandung dalam hadits ini. Semoga Allah ? menjadikan kita semua sebagai hamba-Nya yang bisa mengambil pelajaran darinya. Amin, Ya Rabbal ‘Alamin.

Beriman pada Taqdir Allah, tidak meniadakan usaha

Dalil-dalil tentang Takdir
Berkaitan dengan sifat Iradah dan Masyi’ah bagi Allah dalam pembahasan edisi sebelumnya, kita memahami adanya kehendak Allah dalam masalah qadla dan qadar (takdir). Allah سبحانه وتعالى menghendaki segala sesuatu yang akan terjadi, sedang terjadi dan telah terjadi di alam ini. Dan Ia juga telah mencatatnya di lauhul mahfudh jauh sebelum diciptakannya langit dan bumi.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخُلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ. رواه مسلم
Allah telah mencatat takdir para mahluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. (HR. Muslim)

Takdir juga merupakan salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap muslim. Maka seluruh kaum muslimin harus beriman bahwa segala sesuatu sudah ditakdirkan oleh Allah سبحانه وتعالى, yang baik ataupun yang buruknya; yang manis maupun yang pahitnya; sengsara atau bahagia.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم ketika menjawab pertanyaan dari Jibril tentang iman bersabda:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. رواه مسلم
Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat dan beriman kepada takdir baik dan buruknya. (HR. Muslim)

Allah سبحانه وتعالى berfirman:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ. القمر: 49
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran yang sudah ditentukan.” (al-Qamar: 49)

وَاللهُ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ جَعَلَكُمْ أَزْوَاجًا وَمَا تَحْمِلُ مِنْ أُنْثَى وَلاَ تَضَعُ إِلاَّ بِعِلْمِهِ وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلاَ يُنْقَصُ مِنْ أُمُوُرِهِ إِلاَّ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ. فاطر: 11
“Dan Allah menciptakan kalian dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kalian berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seseorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah. “(Fathir: 11)

Jika kaum muslimin memahami dengan benar masalah takdir ini, niscaya mereka akan mengetahui kekuasaan Allah yang Maha Besar dan Mutlak. Dan bahwasanya segala daya upaya dan kekuatan kita ada di bawah kekuasaan Allah. Maka ucapan yang tepat adalah ucapan kaum muslimin:
لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah.

Tidak ada yang mengingkari takdir Allah baik dan buruknya ini kecuali kalangan ahlul bid’ah seperti qadariyah, mu’tazilah dan sejenisnya dari kalangan rasionalis.

Takdir tidak menafikan adanya usaha
Hanya saja, ketika sebagian kaum muslimin salah memahaminya, maka akhirnya sebagian di antara mereka justru hanya pasrah terhadap takdir yang telah ditentukan Allah hingga akhirnya malas untuk berusaha. Bahkan mereka menggugurkan serta tidak menganggap sama sekali adanya ketentuan hukum-hukum syari’at, karena mereka menganggap percuma karena seluruhnya sudah ditakdirkan (aliran Jabriyah).

Pada sisi lain yang berlawanan, sebagian kaum muslimin justru menolak adanya takdir yang telah ditulis Allah dalam lauhul mahfudh. Mereka menolak menetapkan adanya takdir sebagai salah satu dari rukun-rukun iman dengan alasan: hal ini akan dapat membuat umat Islam terbelakang, jumud dan beku (aliran Qadariyah). Sebagaimana dikatakan oleh tokoh STAIN di Indonesia, Prof. Dr. Harun Nasution.

Semua itu adalah penyimpangan dan kesesatan. Adapun Ahlus Sunnah wal jama’ah, mereka memahami bahwa qadla dan qadar adalah kekuasaan Allah sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad:
القَدَرُ قُدْرَةُ اللهِ.

Masalah takdir adalah kekuasaan Allah.
Yang dimaksud adalah bahwa Allah Maha Berkuasa untuk menakdirkan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya dalam keadaan manusia tetap memiliki ikhtiar, usaha dan kehendak. Namun semua kehendak, ikhtiar dan usaha manusia tidak akan lepas dari apa yang telah Allah tentukan.
وَمَا تَشَاءُونَ إِلاَّ أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا. الإنسان: 30
“Dan tidaklah kalian berkehendak, kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (al-Insaan: 30)

Maka semua yang diamalkan oleh manusia adalah apa yang telah ditakdirkan oleh Allah سبحانه وتعالى.
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ. الصافات: 96
“Dan Allah menciptakan kalian dan apa-apa yang kalian kerjakan. “(ash-Shaafaat: 96)
Sehingga dengan keyakinan mereka terhadap takdir ini, Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak pernah putus asa dalam berusaha. Hanya saja mereka mengiringi usahanya dengan do’a dan berharap kepada Allah سبحانه وتعالى agar mendapatkan taufik dan keberhasilan, karena mereka mengetahui dan meyakini bahwa Allahlah yang menentukan dan menakdirkan. Tidak ada kekuatan dan daya upaya kecuali dengan bantuan Allah.

Dengan demikian, kaum muslimin yang beriman kepada takdir akan menjadi manusia yang besar hati, kuat, semangat dan tabah dalam menghadapi ujian-ujian dan musibah. Karena mereka tahu apa yang terjadi dari keberhasilan, kegembiraan, dan kesuksesan adalah dari Allah, sehingga mereka bersyukur kepada Allah. Demikian pula sebaliknya ketika mereka ditimpa kegagalan, kesedihan, dan musibah-musibah, maka mereka tahu bahwa itu adalah dengan takdir dari Allah, hingga mereka pun bersabar atas apa yang menimpanya dan mengucapkan: “Sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali kepada-Nya”. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ. البقرة: 156
“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". (al-Baqarah: 156)

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلاَّ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ. التوبة: 51
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang beriman bertawakal." (at-Taubah: 51)

Inilah hikmah dari beriman kepada takdir.
Allah سبحانه وتعالى berfirman tentang hikmah diberitakannya masalah takdir kepada manusia:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ. لِكَيْ لَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُور.ٍالحديد: 22-23
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakan-nya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan putus asa terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. “(al-Hadiid: 22-23)

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكاَنَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ. رواه مسلم
“Sungguh mengagumkan keadaan seorang mukmin, seluruh perkaranya adalah baik; dan tidaklah demikian bagi seseorang pun kecuali mukmin. Jika ia diberikan kesenangan ia bersyukur, maka itu baik bagi-nya; dan jika ia ditimpa kesusahan ia sabar, maka itu baik baginya.” (HR. Muslim)

Adab kepada Allah
Dengan keimanan kita kepada takdir Allah سبحانه وتعالى, kita menyatakan ketika kita mendapati kebaikan, keberhasilan, kegembiraan dan kesuksesan: “Ini dari Allah”. Kemudian mensyukurinya dengan ucapan alhamdulillah dan menggunakan kenikmatan dan kebaikan tersebut untuk apa yang diridlai oleh Allah سبحانه وتعالى.

Namun ketika kita mendapatkan musibah, kejelekan, kesedihan, dan kegagalan, maka yang kita nyatakan adalah sebab terjadinya musibah tersebut, walaupun kita mengetahui semuanya adalah takdir dari Allah سبحانه وتعالى. Namun Allah menciptakan segala sesuatu dengan sebab-sebabnya. Maka kita ucapkan: “Ini akibat kelalaian kita”, “Ini karena disebabkan dosa-dosa kita”, “Ini akibat kecerobohan dan kelemahan kita” dan seterusnya.

Allah سبحانه وتعالى berfirman:
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ... النساء: 79
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri… “(an-Nisaa’: 79)

Yakni kita menyatakan bahwa Allah menakdirkan kejelekan-kejelekan tersebut adalah karena dosa-dosa kita. Sehingga pernyataan ini tidak bertentangan dengan ayat lain yang menyatakan semua adalah dari Allah.

وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ. النساء:78
“…dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah". Dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan : ‘Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)’. Katakanlah: ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah’… “(an-Nisaa’: 78)

Hal ini sama seperti ketika kita memanggil Allah سبحانه وتعالى dengan nama-nama-Nya yang baik. Kita tidak boleh memanggil Allah dengan kalimat: “Wahai pencipta setan”, “Wahai pencipta kejelekan”, karena hal ini mengandung celaan, walaupun kita meyakini bahwa setan dan seluruh kejelekan adalah ciptaan Allah. Berbeda halnya ketika kita mengatakan: “Wahai pencipta segala mahluk” atau “Wahai pencipta segala kebaikan dan kejelekan”.

Berkata Imam ash-Shabuni: “Termasuk madzhab ahlus sunnah adalah ucapan mereka bahwa kebaikan dan kejelekan adalah dengan takdir dari Allah. Namun mereka tidak menyandarkan kepada Allah apa-apa yang akan memberikan kesan kekurangan ketika disendirikan. Seperti ucapan “Wahai pencipta kera dan babi-babi”. (Aqidatus Salaf ash-habul Hadits, Imam Ash-Shabuni, Tahqiq Nashir bin Abdur Rahman bin Muhammad al-Juda’. hal. 284)

Walaupun sesungguhnya setan, monyet, babi dan seluruh makhluk-makhluk lain adalah ciptaan Allah. Inilah adab kita ketika berbicara tentang Allah.

Hal ini seperti ucapan Allah سبحانه وتعالى yang mengkisahkan ucapan Ibrahim عليه السلام:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ. الشعراء: 80
“dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku.” (asy-Syu’araa: 80)

Dalam ayat ini, Ibrahim عليه السلام menisbatkan sakitnya kepada dirinya “aku sakit”, tetapi menisbahkan kesembuhannya kepada Allah “Dialah yang menyembuhkanku”. Walaupun Ibrahim tentu meyakini bahwa penyakit dan kesembuhan seluruhnya dari Allah سبحانه وتعالى.

Atau seperti ayat Allah yang mengkisahkan ucapan jin:
وَأَنَّا لاَ نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَنْ فِي اْلأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا. الجن: 10
“Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Rabb mereka menghendaki kebaikan bagi mereka. “(al-Jin: 10)
Dalam ayat ini, ketika membicarakan tentang kejelekan disebut dengan kata “dikehendaki” tanpa disebutkan siapa yang menghendakinya “apakah kejelekan yang dikehendaki?” Namun ketika berbicara tentang kebaikan disebutkan dengan jelas pelakunya: “Atau Rabb-mu menghendaki kebaikan”.

(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 54/Th. II , 14 Shafar 1426 H/25 Maret 2005 M, penulis Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli "Beriman kepada Taqdir, tidak menafikan adanya usaha". Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp di bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief Subekti, Agus Rudiyanto, Zaenal Arifin; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Arif Subekti telp. (0231) 481215.)


Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=966